Minggu, 30 Desember 2012
On 07.18 by Unknown 1 comment
Masih dengan program Needs
Assessment Pencerah Nusantara. Kali ini Tim Berau bergerak menuju kampung ke 10
dari 14 kampung yang ada di kecamatan Kelay. Rencananya Tim akan turun ke 4 kampung
sekaligus yaitu kampung Panaan, Merabu, Mapulu, dan Merapun. Keberangkatan tim
kali ini dibantu oleh para staf pustu di mana jadwal untuk turun ke lapangan
sudah disepakati dan dikondisikan saat pertemuan minilok pada akhir bulan
november yang lalu. Jadi untuk transportasi menuju kampung-kampung ini
terbilang lebih mudah karena segala sesuatunya sudah dipersiapkan oleh ibu-ibu
bidan dan para perawat pustu di setiap kampung.
Tepat pukul 16.00 sore, kami
dijemput oleh Pak Laban, suami Bidan Santi, petugas di Pustu Panaan dengan
menggunakan mobil Patroli Polsek Kelay. Kebetulan Pak Laban bekerja di
Kepolisian Sektor Kelay. Kampung Panaan yang akan kami tempuh ini merupakan kampung
terjauh yang dapat ditempuh dengan jalur darat. Menurut catatan kantor
kecamatan, jarak yang akan kami tempuh menuju kampung Panaan itu mencapai lebih
dari 100 km. Medan yang harus kita lewati juga tidak mudah, apalagi kondisi saat
itu baru turun hujan sehingga jalan penuh lumpur dan sangat licin. Untungnya
mobil strada double cabin yang
membawa tim ke sana bisa melewati medan dengan mulus. Berbeda dengan beberapa
mobil yang kita temui di jalan, ada yang tersangkut dalam kubangan lumpur,
bahkan ada juga beberapa pengendara sepeda motor sedang mendorong motornya
dengan lumpur penuh di sekujur tubuhnya.
Tepat azan isya, kami tiba di kampung
Panaan. Situasi kampung saat itu tidak begitu jelas terlihat karena kampung ini
tidak memiliki listrik. Tim beristirahat di perumahan guru yang letaknya tepat
di sebelah pustu Panaan. Untungnya di rumah ini memiliki generator set sehingga kita tidak kesulitan untuk sumber
listrik. Tidak banyak aktivitas pada malam itu, setelah makan malam, kita semua
langsung tertidur karena kelelahan selama perjalanan.
Keesokan harinya, suasana kampung
Panaan ini mulai tampak jelas. Terlihat anak-anak dan para remaja sedang sibuk
mengait buah langsat di sebelah bangunan pustu. Beberapa ibu-ibu terlihat hilir
mudik di depan rumah sambil menggendong bayinya. Ada juga nenek-nenek yang
sibuk mencari ayamnya karena tidak pulang dari tadi malam. Masyarakat Panaan
ini sebagian besar bersuku dayak lebok atau bassat. Dayak lebok ini kebanyakan
berkulit gelap berbeda dengan suku dayak Punan, Keunya, atau Keuai yang
berkulit putih dan bermata agak sipit yang kita temui di kampung-kampung
sebelumnya. Warga di sana juga sudah mulai membaur dengan warga pendatang dari
jawa, bugis, toraja, atau suku berau sendiri.
Warga yang penasaran dengan
kedatangan “orang asing” ini mulai ramai berdatangan ke Pustu. Akhirnya kita
berkenalan dengan warga setempat dan juga beberapa tokoh masyarakat yang juga
ikut hadir serta menjelaskan tujuan Tim datang ke kampung tersebut. Kita tidak
ingin warga salah paham, karena ditakutkan mereka beranggapan kehadiran kita di
sana untuk pengobatan massal. Sebelum Tim tiba di kampung, kami sudah bertemu
dan melapor dengan pak mantan kepala kampung saat berpas-pasan di jalan. Saat
ini ada beberapa masalah internal kampung yang tidak bisa kita ceritakan di
sini sehingga pak kepala kampung dan aparat-aparatnya sudah sejak lama
meninggalkan kampungnya.
Kampung Panaan ini sebenarnya memiliki panorama yang indah. Kampung ini dikelilingi oleh sungai dengan berbentuk huruf L di bagian utara dan timur. Selain itu, juga terdapat bukit kapur yang sangat tinggi mengitari bagian barat dan selatan kampung. Namun sangat kontras dengan kondisi kampung yang tata letaknya masih tidak teratur. Jalan-jalan umum yang becek akibat tergenang limbah rumah karena rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (SPAL). Hampir semua warga tidak memiliki kamar mandi dan jamban keluarga sehingga semua kegiatan mandi, cuci, kakus, mutlak memanfaatkan sungai. Tidak heran angka kejadian diare di kampung ini terbilang tinggi. Namun kabar baiknya adalah tingginya kesadaran warga di sini untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan jika ada anggota keluarga yang sakit.
Menarik untuk dikaji adalah
kebiasaan ibu hamil yang tidak mau memeriksa kehamilan mereka ke Pustu atau
bahkan sudah masuk waktu persalinan. Menurut cerita bidan setempat, bagi mereka
memperlihatkan alat kelamin itu merupakan hal yang sangat tabu dan tidak layak
untuk dieksplorasi (baca: VT. red). Biasanya persalinan mereka dengan
menggunakan teknik ‘keroyokan’, dimana ibu-ibu dan nenek-nenek juga tidak
ketinggalan bapak-bapak bergotong royong mendorong bayi dari atas perut hingga
bayi keluar dengan sendirinya. Hufft
Saat ini kebiasaan tersebut mulai
berkurang. You seeing and you believing.
Kegigihan petugas setempat untuk menunjukkan cara persalinan yang benar telah
membuka mata sebagian warga untuk melahirkan dengan pertolongan bidan, hal ini
terbantu dengan kehadiran warga-warga pendatang yang sudah melihat persalinan
di luar sana. Namun tetap ada sebagian warga lagi yang masih berpegang teguh pada
kepercayaan mereka itu. Terbukti pada saat kita melakukan assessment, kita
dapati 2 orang ibu hamil besar yang belum pernah sekalipun memeriksakan
kandungannya ke petugas kesehatan. Mereka tetap ‘kekeh’ dengan pendirian
mereka. Memang butuh waktu dan perjuangan keras untuk mengubah paradigma
seseorang. Apalagi stigma tersebut sudah mendarah daging dan menjadi suatu
kebudayaan. Akan jauh lebih sulit dan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk
merubahnya. Pencerah Nusantara, mungkinkah itu jawabannya ???
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
heiiii blogwalking nih..main dong ke rumah kitaaa http://pencerahnusalindu.blogspot.com/
BalasHapusbikin link blog qta donk di blog kalian hahhahahhaa