Rabu, 27 Februari 2013
On 07.22 by Unknown No comments
Tim PN Berau |
Indonesia memang memiliki sejuta cerita. Di tengah hiruk
pikuknya perang gadget di pasar nasional maupun internasional, ternyata tidak
membawa pengaruh kepada adat istiadat dan budaya yang berkembang di masyarakat
khususnya masyarakat terpencil ini. Long Suluy, kampung yang terletak di hulu
sungai kelay di kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, kalimantan Timur merupakan
salah satu contohnya. Kampung ini memiliki jumlah penduduk lebih kurang 114 KK dan hampir semua warganya bersuku
dayak Punan.
Perjalanan Tim PN Berau menyisir kampung-kampung yang tak bisa diakses dengan jalur darat |
Kampung ini terkenal dengan hasil alamnya yang juga
pekerjaan utama penduduk setempat yaitu penambang emas. Hampir di sepanjang
bantaran hulu sungai Kelay dan sebagian sungai Suluy bisa di dapati warga yang
sedang menambang emas. Selain menambang emas, mereka juga bekerja sebagai
petani dengan membuka lahan di hutan untuk bercocok tanam. Biasanya setelah
panen, mereka akan membuka lahan yang baru dan membiarkan lahannya yang lama.
Hal ini mereka lakukan agar lahan yang lama tersebut bisa menjadi hutan kembali
sehingga kebiasaan ini menjadikan hidup mereka berpindah-pindah (nomaden).
Di dalam hutan tersebut biasanya mereka membawa serta anak
dan istri mereka. Meskipun istri sedang hamil besar atau memiliki bayi
sekalipun, mereka tetap memboyong semua anggota keluarganya ke hutan. Di sana
mereka membangun pondok-pondok kecil. Jarak antar satu pondok dengan pondok
milik warga lainnya umumnya berdekatan. Mereka membangun pondok-pondok tersebut
secara bergotong royong. Mereka hidup di hutan tersebut mulai dari musim tanam
hingga musim panen. Maka tak jarang jika kita turun ke kampung Long Suluy ini,
kampungnya kosong tak berpenghuni. Mereka baru akan kembali ke desa mereka saat
musim panen tiba atau saat hari-hari besar keagamaan seperti Natal dan tahun
baru serta hari paskah.
Tentunya kondisi di atas membawa pengaruh terhadap kesehatan
seperti cakupan imunisasi yang rendah , antenatal care (cakupan K1 dan K4 yang
sangat rendah), bahkan tidak sedikit ibu hamil yang melahirkan di bawah pohon
beringin di dalam hutan atau bahkan pernah ada kejadian melahirkan di dalam
perahu saat perjalanan kembali dari hutan. Hal ini diperparah dengan tidak
adanya listrik dan sinyal untuk berkomunikasi sehingga sulit untuk mengetahui keberadaan mayarakat di
sana meskipun di kampung ini sudah ditempatkan seorang perawat dan seorang
bidan.
Berbicara tentang kesehatan, ada satu hal yang cukup unik
yang sampai saat ini sudah mulai ditinggalkan di kampung Long Suluy ini. Jika ada
anggota keluarga yang sakit, sebagian besar mereka tidak membawa keluarganya ke
petugas kesehatan melainkan ke dukun. Mereka percaya bahwa penyakit itu adalah
kiriman dari roh-roh jahat. Sehingga roh-roh jahat tersebut harus dikeluarkan
dengan menggunakan upacara yang disebut dengan ngampai. Upacara ini dilakukan dengan membangun sebuah pondok kecil
dan warga yang sakit itu diasingkan ke dalam pondok tersebut. Setalah itu baru
diadakan ritual-ritual yang disaksikan oleh beberapa tokoh adat untuk mengusir
roh jahat keluar dari badan si sakit. Selama sakit tersebut, pasien dan keluarganya
dilarang untuk memakan makanan yang
bergaram dan memasak dengan posisi kayu harus lurus dan tidak boleh miring. Setelah
melaksanakan ritual tersebut si warga baru dikumpulkan lagi bersama keluarga
mereka. Namun jika dalam beberapa hari sakitnya semakin parah, baru mereka
membawa ke petugas kesehatan setempat.
Tim PN Berau yang tak kenal lelah menyapa masyarakat pelosok Indonesia, bahkan saat hujan turun sekalipun |
Senada dengan Long Suluy, kampung Panaan memiliki cerita
yang tak kalah uniknya. Masyarakat Panaan ini sebagian besar bersuku dayak
lebok atau bassat. Dayak lebok ini kebanyakan berkulit gelap berbeda dengan
suku dayak Punan yang berkulit putih dan bermata agak sipit yang kita temui di
kampung Long Suluy. Menarik untuk disimak adalah kebiasaan ibu hamil yang tidak
mau memeriksa kehamilan mereka ke Pustu atau bahkan sudah masuk waktu
persalinan. Menurut cerita bidan setempat, bagi mereka memperlihatkan alat
kelamin itu merupakan hal yang sangat tabu dan tidak layak untuk dieksplorasi
atau di-VT(Vaginal Touche). Biasanya
persalinan mereka dengan menggunakan teknik ‘keroyokan’ atau persalinan gotong
royong, dimana ibu-ibu dan nenek-nenek juga tidak ketinggalan bapak-bapak
bergotong royong mendorong bayi dari atas perut hingga bayi keluar dengan
sendirinya.
Suatu kali pernah bidan mendatangi secara tidak sengaja
sebuah rumah yang sedang ramai dengan warga. Ternyata di sana ada seorang ibu
yang sudah inpartu dan segera akan
melahirkan. Namun kedatangan bidan tersebut tidak disambut baik oleh anggota
keluarganya. Melihat si ibu tampak sangat kesakitan, ibu bidan memaksa untuk
menolong persalinan. Namun tetap saja ia tidak ingin diperiksakan atau ditolong
oleh bidan. Pasien mencari akal agar tidak ditolong bidan dengan permisi ke
kamar kecil. Di sana ia berdiam diri dalam waktu yang lama. Hal ini mengundang kekhawatiran
bidan dan keluarga. Setelah memanggilnya keluar, didapati si bayi sudah di
pintu lahir dan si ibu sedang menahannya keluar. Ini dilakukan karena
ketidakinginan si ibu ditolong oleh seorang tenaga kesehatan. Namun bidan
langsung sigap dan memaksa menolong persalinan dengan persetujuan keluarga.
Keluarga pun setuju dan bayi dilahirkan dengan selamat.
Meskipun saat ini kebiasaan tersebut mulai berkurang, namun
tetap ada sebagian warga lagi yang masih berpegang teguh pada kepercayaan
mereka itu. Terbukti pada saat kita melakukan assessment, kita dapati 2 orang
ibu hamil besar yang belum pernah sekalipun memeriksakan kandungannya ke
petugas kesehatan. Mereka tetap ‘kekeh’ dengan pendirian dan kepercayaan
mereka. Memang butuh waktu dan perjuangan keras untuk mengubah paradigma
seseorang. Apalagi stigma tersebut sudah mendarah daging dan menjadi suatu
kebudayaan. Akan jauh lebih sulit dan memerlukan waktu panjang untuk
mengubahnya. Pencerah Nusantara,,, mungkinkah itu jawabannya?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar