Minggu, 06 Januari 2013
On 04.17 by Unknown No comments
Mata Air Nyadeng |
Merabu dan Mapulu. Dua kampung
yang unik untuk sebuah kawasan kecamatan Kelay yang sangat luas. Jika
kampung-kampung lain dipisahkan oleh hutan rimba, gunung-gunung ataupun sungai,
kampung ini hanya berbatasan dengan sebuah pagar rumah warga saja dan jumlah
penduduk masing-masing desa juga tidak terlalu banyak, bahkan jika dua kampung
ini digabungkan menjadi satu, jumlah penduduknya masih terbilang sedikit untuk
sebuah kampung. Kampung ini terletak di bagian selatan kecamatan Kelay, hampir
mendekati perbatasan kabupaten Kutai Timur. Kedua kampung ini tidak dapat
dilalui dengan jalur darat. Untuk menuju ke sana harus dengan menggunakan
ketinting dari kampung tetangganya yang bisa diakses lewat jalur darat. Saat
ini memang ada jalur darat milik sebuah perusahaan sawit yang bisa tembus ke
desa tersebut namun tetap harus menyeberangi sungai. Selain itu jalur perusahaan
ini sulit untuk dilewati jika musim hujan tiba.
Sama seperti kampung-kampung
lainnya, perumahan warga tersebar di sepanjang bantaran sungai. Sungai yang
melintasi desa ini adalah sungai merapun, merupakan anak sungai Kelay yang
airnya jernih ketika musim kemarau dan keruh saat musim hujan. Masih terlihat
beberapa jamban di sepanjang sungai, namun tidak sebanyak kampung Panaan sebab
di desa ini sudah dibangun beberapa unit rumah sehat yang sudah memiliki jamban
keluarga. Bahkan warga yang tidak kebagian rumah sehat pun mulai membangun wc
pribadi di rumah. Kebanyakan warga yang tidak memiliki jamban di rumah itu
bukan karena tidak mau membuat wc sendiri akan tapi lebih karena alasan ekonomi
sehingga lebih memilih MCK di sungai.
Meskipun kedua desa ini hidup
berdampingan, tetapi karakteristik masyarakatnya sedikit berbeda terutama dari
segi mata pencaharian. Masyarakat Mapulu sebagian besar bekerja mencari sarang
burung walet di dalam hutan. Sedangkan masyarakat Merabu sebagian warga ada
yang berladang dan berkebun di hutan sedangkan sebagian lagi bekerja lepas di
kebun sawit milik sebuah perusahaan swasta. Hal ini berdampak pada tingkat
kemakmuran masyarakat di kedua desa yang cukup kentara dan sangat jelas
terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tim PN sedang berbincang dengan aparat kampung di Pustu Kampung Merabu - Mapulu |
Kepercayaan masyarakat terhadap
tenaga medis juga terbilang tinggi. Hanya ada 1 pustu untuk 2 desa ini yang
diisi oleh 2 tenaga bidan dan 1 orang perawat. Meski banyak keterbatasan,
masyarakat akan rela berkorban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan jika ada
anggota keluarga mereka yang sakit. Terbukti ketika tim PN mendatangi kampung
ini, warga berbondong-bondong membanjiri Pustu karena ingin mendapatkan
pelayanan kesehatan langsung dari dokter. Mereka mengira kedatangan tim
kesehatan ini hendak melakukan pengobatan massal. Begitulah, paradigma yang
berkembang di masyarakat sekarang adalah dokter atau tenaga medis tugasnya
hanya mengobati, dan pemikiran tersebut tidak hanya di masyarakat desa saja
bahkan juga di perkotaan.
Satu hal yang membuat kampung ini
berbeda dengan kampung-kampung lain di Kelay adalah masalah sumber air minum.
Hampir semua kampung di Kelay sangat bergantung pada air sungai sebagai sumber kehidupan. Berbeda dengan
kampung Merabu ini, mereka mendapatkan sumber air dari sebuah mata air yang
terletak tidak begitu jauh dari desa ini. Mata air Nyadeng namanya. Dari sana,
dipasang sebuah pipa besar untuk dialirkan ke rumah-rumah penduduk dengan
menggunakan mesin pompa milik desa Merabu. Air ini nantinya akan ditampung
dalam sebuah profil tank yang sudah tersedia di setiap rumah warga.
Ada dua mata air yang membentuk
seperti kolam yang besar dan mengalirkan airnya menuju ke sungai merapun. Air
ini sangatlah jernih dan berhawa sejuk. Uniknya meskipun air ini berhilir ke
sungai merapun namun airnya tidak mau menyatu dengan air sungai merapun bahkan
saat kondisi banjir. Terlihat jelas batas air sungai merapun yang keruh
berwarna kuning dengan air dari mata air yang berwana jernih kebiruan.
Tidak hanya sampai di situ, mata
air ini hingga sekarang belum diketahui dasarnya sampai sejauh mana. Menurut
cerita warga setempat, pernah beberapa orang bule dari sebuah NGO bidang konservasi hutan melakukan penyelaman
ke dalam mata air Nyadeng ini. Namun hingga 500 meter mereka menyelam tak
kunjung bertemu dengan dasar mata air bahkan suhu air menjadi semakin dingin.
Selain itu jika kita berjalan-jalan di sepanjang sungai tersebut, akan banyak
terlihat ikan-ikan besar yang berlalu lalang namun sangat jarang sekali orang
bisa menangkap ikan di sana baik dengan kail ataupun dengan memasang pukat. Bahkan pernah warga menggunakan
teknik kontak listrik untuk menangkap ikan, namun tidak ada ikan yang mati
akibat sengatan listrik tersebut.
Tim PN merasa tertantang untuk
membuktikan kebenaran cerita warga setempat. Saat melewati sungai Merapun
menuju ke desa Merabu-Mapulu, kami membelokkan ketinting ke sungai Nyadeng
menuju ke sumber mata air. Tampak sangat jelas air sungai Nyadeng dan Sungai
Merapun yang tidak menyatu. Lebar sungai Nyadeng ini hanya sekitar 3 meter dan
terlihat jelas dasar sungai karena saking jernihnya. Sesaat hawa sejuk langsung
merasuk ke tulang-tulang. Terlihat asap tipis berterbangan di atas air sungai
yang berwarna kebiruan. Hingga kami tiba di batas ketinting bisa dikendarai karena
terhalang dengan bagian sungai yang lebih tinggi yang mengalirkan ribuan kubik
air dengan begitu derasnya. Kami memutuskan untuk turun di sana dan berehat
sambil menikmati kesejukan mata air Nyadeng. Untuk menuju ke sumber mata
airnya, kita harus berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit lagi. Namun
mengingat hari sudah senja, tim PN pun memutuskan untuk kembali dan melanjutkan
perjalanan ke kampung Merabu Mapulu. Kita pun bertekad suatu hari nanti kita
harus mampu mencapai sumber mata air Nyadeng yang misterius ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar