Setahun Mengabdi, Seumur Hidup Berdedikasi

Sabtu, 17 November 2012

On 04.53 by Unknown   No comments

Kali ini aku akan bercerita tentang Anjani, seorang gadis mungil yang berusia 5 tahun. Dia terlihat sangat aktif meskipun postur tubuhnya kelihatan kecil untuk anak-anak seusianya. Saat ini Anjani duduk di kelas nol kecil di sebuah taman kanak kanak yang letaknya sekitar 30 km dari rumahnya. Untuk menuju ke sekolahnya anjani harus menempuh perjalanan yang tidak mudah. Selain jarak sekolah yang jauh, kondisi jalan yang belum beraspal dan juga demografi daerahnya yang dikelilingi hutan dan jurang. Namun baginya semangat untuk meraih cita-cita terlihat dari sinar matanya yg memancarkan keluguan serta keceriaan.

Pertemuan dengannya di sebuah kampung pedalaman pulau borneo, kampung pelosok di mana akses ke sana harus melewati 3 pegunungan. Kampung yang akses listrik terbatas (hanya 4 jam perharinya), transportasi yang sulit, jalan berbatu, berliku, hutan, bahkan sinyal handphone pun enggan melintas di atas desa tempat Anjani tinggal. Kadang aku berpikir, bagaimana bisa Anjani dan warga lainnya mampu bertahan dengan kondisi yang menurutku ‘memprihatinkan’. Suatu kondisi yg tdk akan pernah ditemukan ditengah hiruk pikuknya kehidupan kota metropolitan. Namun di sana pula aku menemukan banyak hal yang justru amat sangat langka untuk kita temukan di daerah perkotaan. Ada kedamaian di sana, ada semangat gotong royong, dan saling menghargai satu sama lain meskipun hidup dengan berbeda keyakinan antara satu sama lain. Sayangnya nilai positif ini tidak dibarengi dengan kondisi pendidikan dan kesehatan yang mumpuni, dua hal yang menurutku menjadi hak mereka yang masih berstatus warga negara indonesia.

Pagi itu, aku bersama teman-teman yang sedang melakukan needs assessment tidak sengaja bertemu dengan Anjani yang saat itu sedang tidak sekolah. Bukan karena sakit, bukan pula karena hari libur. Saat itu kampung tempat Anjani tinggal sedang diguyur hujan lebat. Praktis akses transportasi tidak mampu melintasi kampung yang jalannya belum beraspal ini. Kondisi jalan yang licin dan berlumpur sangat berisiko untuk dilewati kendaraan roda dua. Untungnya kita sampai ke desa ini sehari sebelum hujan turun dengan derasnya. Dari awal saya mendatangi rumahnya, sorot matanya yang bersahabat jelas terlihat dari balik daun pintu kayu yang sudah dimakan rayap. Anjani merupakan tipe anak yang supel. Baru sebentar kami berkenalan, rasanya seperti kita sudah sangat mengenal satu sama lain.

Hingga suatu waktu aku bertanya kepada sosok mungil ini.. “Nanti kalo Anjani udah besar, mau jadi apa?” persis seperti pertanyaan Ria Enes kepada Susan. Dengan senyum yang manis Anjani menjawab “aku ingin menjdi seperti kakak Rizqi..!”
“kenapa Anjani mau seperti kakak?” Tanyaku yang sedikit kaget bercampur heran. “ya karna ingin membantu menolong ibu-ibu melahirkan”. Aku langsung jleb dan tanpa terasa bulir bening itu menyeruak dari sudut mata tanpa malu-malu. Masih jelas sekali tatapan polos gadis mungil itu dalam ingatanku, penuh semangat dan harapan yang cukup besar.

Aku masih tak bisa berkata-kata. Jawaban yang bahkan tidak terfikir oleh ku ketika aku seusianya. Rasanya aku ingin berteriak kepada pertiwi, aku ingin bercerita bahwa di pedalaman pelosok negeri ini pun terdapat mimpi tunas bangsa yang luar biasa, mimpi anak negeri yang ingin berbuat lebih untuk bangsa. Saat itu di pikiranku hanya satu, apa yang bisa aku lakukan untuk mewujudkan mimpi Anjani, dan Anjani-Anjani lain yang aku yakin juga memiliki mimpi besar untuk negeri Indonesia tercinta ini...


0 komentar:

Posting Komentar